Manusia Paling Bahagia


S
ore itu langit mendung. Seperti biasa aku bergegas selepas jam pulang kantor tiba. Mengucapkan selamat tinggal pada tumpukan tugas dan omelan sang menejer yang tak pernah mau kalah meskipun ia bersalah. Sesegera mungkin aku menuju area parkir. Memanasi motor sebentar. Kemudian melaju,sambil meratapi nasib hidupku yang bekerja pada suatu perusahaan yang sarat dengan polemik. Tiap hari harus berhadapan dengan big boss yang temperamental dan bergelut dengan ribuan angka di layar komputer. Belum lagi complain dari customer yang kurang puas dengan pelayanan. Atau sekedar vendor yang kerja tanpa aturan yang jelas yang tiap detik punya aturan berbeda hingga memaksaku harus merevisi pekerjaanku. 

Sejujurnya aku sudah tak sanggup lagi bekerja seperti ini, kadang aku cemburu ketika melewati kampus megah yang tak jauh dari kantorku, tak jarang tiap pagi harus menyaksikan kawan sebayaku bercengkerama bersama teman-temannya. Tapi aku? aku hanya bisa menikmati bangku kuliah setelah seharian nongkrong di kantor. Aku harus bertahan di sini demi kuliahku, demi pendidikan yang kuagungkan. Demi secercah mimpi untuk bisa mengenakan toga. demi wejangan Ayah yang mengatakan bahwa pendidikan tinggi adalah sebuah harga diri.  Aku terkekeh menyaksikan air mataku yang menetes tanpa diundang. Sungguh aku sudah tak sanggup lagi bekerja di sini. Tapi aku mau kerja di mana lagi? Berbagai jenis pekerjaan pernah aku jamahi. Mulai dari penjaga konter, buruh pabrik, kasir, waitress, sales promotion girl, telemarketing bank, sampai jadi bagian gudang di sebuah perusahaan bunga hias. Semua itu aku jalani tak pernah lebih dari satu minggu. malah ada yang hanya setengah hari saja! Ya, setengah hari karena aku kabur saat jam istirahat. Hanya di kantor ini aku bisa bertahan lebih dari satu tahun. Dan satu tahun itu adalah perjuangan berat karena aku harus memulainya dari nol sampai kini aku punya salary yang jauh diatas rata-rata karyawan yang hanya bermodal ijasah SMA.

Kutambah kecepatan lajuku. Menyerbu jalan raya. Menerobos terowongan. Mendaki fly over. Sampai berhenti di sebuah lampu merah di bawah kolong jembatan layang. Aku terkesima menatap seorang lelaki yang kutak tau berusia berapa, yang ku tau tubuhnya hitam legam, kakinya yang satu bekas amputasi sehingga ia harus berjalan seperti suster ngesot. Aku hanya mengisyaratkan maaf saat dia menyodorkan tangan tepat di depanku. Aku iba, tapi apalah daya karena tas dan seisinya kusimpan di jok motor yang kududuki. Ia hanya berlalu dan memelas.

Lampu masih menyala merah sampai datang lagi seorang gadis kecil dengan menggendong seorang bayi yang berusia tak lebih dari tiga tahun. Dan lagi lagi aku hanya bisa berkata maaf. Gadis itu berlalu tapi tanpa rasa kecewa. Ia malah menghampiri teman seperjuangannya yang telah muak dengan kata ’maaf’dari para pengendara motor dan pengemudi mobil mewah yang terhenti karena peraturan lalu lintas. Mereka berdiri tepat di sampingku. Besenda gurau. Tertawa lepas menyaksikan bayi mungil yang baru mulai bisa berbicara. Mereka masih kecil tapi sudah terbiasa memakan getirnya nasib. Menjadi gelandangan yang hidup dan dibesarkan di bawah kolong jembatan.

Aku kembali menancap gas ketika lampu menyala hijau. Perlahan tetapi pasti. Aku masih terpaku mendapati kejadian tadi. Betapa seorang yang hidupnya lebih tak beruntung dariku masih bisa tertawa riang, kenapa aku yang diberi keberuntungan malah meratap dan menangis? Aku terlahir sempurna tanpa cacat sedikitpun, aku punya penghasilan sendiri. Dan aku bisa membiayai kuliahku sendiri tanpa harus merepotkan orang tua. Astagfirullah, aku telah menjelma menjadi manusia yang kufur. Aku kembali meneteskan air mata. Bukan air mata pilu seperti tadi. Melainkan air mata syukur. Betapa Allah menyayangiku.

Aku jadi teringat ketika kecil, aku merengek- rengek meminta agar ayah membelikanku sepeda. Tapi ketika aku memiliki sepeda, aku malah menginginkan sepeda motor walaupun bekas. Ketika aku memiliki sepeda motor bekas, aku malah menginginkan yang baru. Dan setelah aku memiliki sepeda motor baru, aku malah memimpikan mobil biar tidak kepanasan saat bergelut dengan kemacetan Jakarta. Mungkin setelah aku memiliki mobil aku akan memimpikan pesawat. Manusia memang tak pernah merasa puas, dan lebih banyak yang tak bisa mensyukuri, padahal nafas yang kita miliki detik ini adalah sebuah rahmat Allah yang tiada tara. Kini kutau, manusia paling bahagia adalah manusia yang paling pandai bersyukur, yang merasa cukup dengan apa yang ia miliki. Tanpa berhenti berusaha untuk mempersembahkan yang terbaik dalam hidupnya demi mengagungkan semboyan ’Hidup untuk memberi sebanyak-banyaknya’.